Sabtu, 06 Agustus 2016

Niat bilang "terimakasih" jadi "kiri", niat ambil uang malah hilang uang. Hati-hati hilang fokus!

Tindakan yang sering kita lakukan ternyata tanpa kita sadari disimpan otak sebagai suatu prosedur kerja yang bisa kita kerjakan di bawah alam sadar kita. Misalnya,ketika aku sering sekali naik angkot, sehari bisa 6 kali naik turun angkot dengan prosedur adegan turun angkot adalah pertama bilang "kiri", turun, kasih uang, ambil kembalian, dan bilang "terimakasih". Hari itu kejadiannya adalah waktu mau turun ada penumpang lain yang sudah bilang "kiri" dan aku hanya diam lalu turun, kasih uang, ambil kembalian, dan bilang "kiri".

Kemudian kaget dan ngacir karena malu. Ya, itu karena kebiasaan, kata pertama yang selalu diucapkan ketika adegan turun angkot adalah "kiri", jadi tanpa disadari karena hilang fokus kalimat yang keluar adalah "kiri" yang seharusnya "terimakasih".

Sumber: tutinonka.wordpress.com


Hari ini, aku sedang berada di antrian ATM BRI, di depanku ada seorang bapak yang sedang bertransaksi menarik uang, ketika si bapak pergi mataku tertuju ke lubang pengeluaran uang, ada tumpukan uang berwarna biru yang lupa diambil si bapak. Kejadian yang sama, di ATM yang sama menimpaku dua bulan lalu. Aku berpikir berarti ini yang salah bukan sifat pelupa tapi ada kebiasaan yang berubah. Biasanya atm akan mengeluarkan uang terlebih dahulu, selanjutnya mengeluarkan kartu. Beberapa atm yang saya temui sekarang membalik pola yang sudah lama kita ingat, mengeluarkan atm terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan mengeluarkan uang. Hal ini juga berlaku di ATM BRI Giant Dramaga. Ketika kita hilang fokus, otak akan memproses kebiasaan kita yang setelah mengambil kartu langsung meninggalkan ATM dengan pemikiran uang telah kita ambil. Akhirnya aku kehilangan uang Rp. 300000 tanpa melihat wujudnya.

Hati-hati, jangan hilang fokus. "Ada Aqua @_@"

Kamis, 31 Maret 2016

IPB Menuju Green Campus 2020


Aku masih berkutat dengan jurnal yang tidak sampai 30 menit bisa diunduh 30 lebih jurnal ilmiah, tapi butuh waktu yang lama buat memahaminya, terlebih lagi bahasa inggirs. Dari balik kamar aku mendengar suara lantang dari pengeras suara, ya hal ini mulai terbiasa terdengar belakangan ini di kampus kami. Kali ini beda, bukan soal demo kenaikan BBM atau menuntut presiden mundur, konsep green campus yang mulai diterapkan di IPB menuai protes, baik dari mahasiswa maupun warga sekitar. Konsep green campus ini mengharuskan pengguna sepeda motor memarkirkan kendaraanya di parkir terpusat dengan membayar Rp.500 (sebelumnya gratis dan berada di sekitaran gedung yang ingin kita tuju) untuk kemudian dapat berjalan kaki, naik sepeda (sewa Rp. 1), menggunakan jasa bus Rp.1000 (yang dulunya gratis), atau moli (mobil listrik) Rp. 2000 agar sampai ke tempat tujuan, sepeda motor dilarang berkeliaran di sekitar kampus pada jam operasional.

Mahasiswa keberatan dengan biaya parkir, bus, moli, dan paling memberatkan adalah perlakuan yang tidak setara antara pengguna mobil dan sepeda motor, dimana mobil bisa berlalu lalang bebas di kampus serta bisa parkir dimanapun (termasuk di pinggir jalan). Sedangkan, warga berdemo karena ojeg yang merupakan sumber pencaharian warga sekarang dilarang beroperasi di dalam kampus. Pihak IPB telah mengarahkan warga yang berprofesi sebagai ojeg akan direkrut sebagai sopir bus atau moli, namun dengan syarat memiliki ijazah setara SMP. Syarat tersebut memberatkan sebagian warga yang tidak memiliki ijazah. Selain itu demo warga juga dipicu dengan dilarangnya warga masuk ke dalam kampus IPB dengan dipasangnya portal di jalan IPB serta penutupan beberapa pintu akses masuk IPB. 

Aku sendiri secara subjektif tidak keberatan dengan konsep green campus, asal:
  1. Bebaskan biaya parkir layaknya seperti dulu, apa salah mereka yang mampu memiliki sepeda motor?, jangan jadikan kami yang tidak memiliki sepeda motor sebagai alasan kesetaraan, siapa tahu mereka yang bawa motor karena memang rumahnya jauh.
  2. Parkirkan mobil di sebelah parkir motor. Memang dirasa tidak adil kalau mobil masih bergerak bebas, sedangkan pengguna sepeda motor sudah dibatasi. Hal ini tidak akan bisa diterima mahasiswa jika green campus adalah tujuannya.
  3. Stop paksa kami membeli Tap Cash. Semua fasilitas kampus harus bertransaksi dengan kartu oranye ini. Aku yang sudah punya dua kartu uang elektronik dari bank lain dibuat kesusahan karena tidak punya kartu ini. Terpaksa membeli jika harus menggunakan fasilitas yang ada, juga kesusahan ketika isi ulang karena tidak punya kartu ATM BNI (kami generasi dengan KTM berlogo Bank Mandiri).  


 Aku tidak terlalu paham terhadap keinginan kampus dalam menerapkan konsep green campus ini, tapi aku paham kalau kampus menginginkan yang terbaik. Semoga status IPB yang sekarang MENUJU green campus 2020, di tahun tersebut semua keluhan kami memiliki solusi dan IPB menjadi green campus tanpa berat sebagian.

Jumat, 22 Mei 2015

Tolong,,, jangan biarkan kami dilarang naik gunung (lagi)!





Mendaki gunung itu salah satu hobi ekstrim, apalagi untuk kami yang terlahir sebagai perempuan.
Ga gampang loh merayu mama untuk ngijinin anak ceweknya buat naik gunung, beragam pikiran muncul dari seorang mama yang ga tau alam gunung itu kayak apa, terutama pikiran negatif.

Di satu kesempatan mudik, ketika guling-guling di kamar Mama aku bercerita tentang perjalanan ke Merbabu.
Aku: Ma, waktu naik gunung ado kawan adek tibo-tibo kedinginan …

Mama: Sudahlah naik gunung terus. Potong Mama

Aku: Haaa, Mama… seru tau naik gunung.

Mama: Masih banyak tempat lain untuk jalan-jalan

Aku: Mama sih dak tau rasonyo naik gunung

Di kesempatan lain, aku pun memancing cerita lagi.

 ...
Aku: Kan aku baru naik gunung kemaren, Ma

Mama: naik gunung lagi?

Aku: Hehehe, mumpung tiketnyo murah

Mama: Kagek kalo longsor cakmano?

Aku: Idaklah, naik gunung itu sudah ado jalannyo tinggal diikuti bae.

Mamaku tidak melarang aku naik gunung, walau sejujurnya begitu berat melepas anaknya ke alam.

Jadi tolong, jangan tambah memberatkan mama kami untuk mengijinkan kami mendaki dengan berita-berita kecelakaan di gunung, jangan tambah lagi jumlah kecelakaan akibat melanggar larangan yang sudah dibuat.

Kami masih ingin menjumpai edelweiss si langka itu setelah berpeluh-peluh, masih ingin menikmati jingga yang terasa sangat dekat, masih ingin duduk santai nunggu mie mateng ketika di puncak.
Mendakilah dengan damai!

Kamis, 19 Maret 2015

Mendaki dengan rok

Selamat bertualang buat kamu yang selalu memakai rok dan juga selalu rindu dengan udara gunung.

Mt. Merbabu - Jawa Tengah

Mt. Gede - Jawa Barat


Mt. Merbabu - Jawa Tengah


Kawah Ratu - Bogor

Gunung Kapur - Bogor

Mt. Welirang - Jawa Timur

Sabtu, 15 November 2014

Iya, aku capek!

Mau tidak mau aku sampai di usia 25 (lewat) dengan status masih sendiri.
Teman-temanku sebagian telah menikah, beberapa telah memiliki anak, sebagian lagi masih seperti aku, jomblo kata orang sekarang.

Aku harus apa?, kita sedang menjalankan takdir kita masing-masing, takdirku begini, jadi stop jangan tanya
kapan nikah? 
udah ada calon kan?

Kalau kalian sebegitu penasarannya, bagaimana dengan aku?
Aku lebih ingin tahu, lebih menggebu-gebu nama dengan awalan apa yang dengan bahunya aku merasa berada di tempat paling nyaman, dengan pegangan tangannya aku merasa aman.

Kalian siapa? Akulah yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya, yang akan menangis dalam peluknya, yang akan menjadi paling tegar dalam rapuhnya. Dengan begitu siapakah yang harusnya lebih penasaran? bahkan ukuran sepatunyapun aku juga ingin tahu.

Kata orang, anggap saja yang bertanya sebagai doa, aku harap aku masih punya stock senyum atau bahkan tawa ketika pertanyaan berulang-ulang itu muncul lagi besok.

Kata mereka jangan terlalu pilih-pilih.
Bagaimana tidak pilih-pilih, membeli tas yang bisa diganti kapanpun  aku dan temanku harus sampai ke empat pusat perbelanjaan dan itu pun pilihan belum jatuh ke satu pun tas, ragu.
Apalagi urusan jodoh, yang sekali kuterima maka harus setia sepanjang hayat.

Seperti mencari tas, semakin mencari semakin capek.
Iyaaaa, aku capek. Milyaran manusia dan cuma satu yang cocok, bayangin kan gimana sangat amat kecil sekali kebangetan peluangnya. Salah wajar,tapi makin ke sini aku semakin paham karena peluang yang terlalu kecil itu bisa terkabul cuma dengan pertolonganNya.
Capek salah, capek patah, capek meregang.
Semua sama, semua mencari, wajar jika menebar umpan, jadi berhenti kegeeran ya dek, cuek saja sampai dia berani ketemu bapak, baru silahkan geer.

lanjutkan wujudkan mimpi dan biarkan tuhan mengatur jalan cerita jodohmu.
Mungkin besok dia ada di sudut Bank BNI berhenti tersenyum ketika mata kalian beradu, mungkin nanti di sebuah perjalanan dimana kamu sangat menyukainya, mungkin setelah menutup laptop ini bertemu di dalam mimpi.

Selamat malam,
aku capek.


Bogor, 01:19 - 15 November 2014

Selasa, 28 Oktober 2014

Pantai Ujung Genteng, Langkah kakiku berhenti selanjutnya


Sabtu pagi dini hari, baru satu jam sampai kosan dari Jakarta ketemu ayuk, harus sudah rapi untuk pergi lagi. Walau capek, tapi tetap dengan semangat karena aku akan travelling lagi, menjemput bahagia. Kali ini, langkah kakiku berhenti di Sukabumi, Pantai Ujung Genteng yang letaknya ujuuuuuuung banget.

Kami berangkat ber 16 menyewa dua mobil, satu mobil denganku ada Nurul, Lista, Damar, Arif, Eno, Asa, dan Fauzi. Berangkat menuju Ujung Genteng via Jampang - Surade, dan ya tengah malam dikira lancar ternyata macet, lawannya truk truk gede. Awalnya diperkirakan sampai pagi ternyata siang baru masuk Surade dan kami mampir dulu ke Curug Cikaso yang letaknya sekitar satu jam dari Pantai Ujung Genteng.

Awalnya sempat ragu ke curug ini, karena beberapa hari lalu  kondisinya masih kering, sudah lama tidak hujan. Tapi dengan sedikit harapan karena kemarin hujan kita nekad ke sana, dan apa? Deres banget! Cantik! Curug ter-oke yang pernah aku liat: deres, ada tiga aliran, dan bersih.









Bersyukur banget jadi ke sini.
Setelah puas, sampe hape mati karena basah kita melanjutkan perjalanan menuju Ujung Genteng.

Harumnya laut mulai kecium ini, pantaaaaaaiiiii....!
Sebenernya dibanding perjuangan buat sampai ke sini, pantai ini bagus, tapi biasa. Murni subjektif dari aku, beda lagi cerita mungkin kalo aku bisa liat sunset. Sayangnya kami kurang beruntung, sore ini mendung.

Pantai di sini bersih, pasirnya putih, ombak yang di Pantai Ujung Genteng tenang, beda dengan di Pantai Pangumbahan yang tempat penangkaran penyu ombak lumayan gede. Meski ga istimewa, aku selalu suka berbaring di pantai yang sepi, rasanya tenang, hampir ketiduran.





Dan ini kami!



Senin, 22 September 2014

Gunung Gede, langkah kakiku berhenti selanjutnya

Hai, sudah lama tidak menyapa. Kaki ini pun rasanya sudah gatal melangkah. 
Dan kali ini Gunung Gede akan menjadikan langkah kakiku berhenti selanjutnya. 
Yaaaaakkk…. Akhirnya Gede di pelupuk mata akan tersentuh. Walau dari awal sudah mencari-cari alasan untuk ga ikut (-ikutan) mendaki lagi, tapi malam ini dengan carrier 40L yang bikin ga pede jalan di tengah ramai Bara aku menuju meeting point, BNI Dramaga.

Pendakian kali ini bersama 11 orang lainnya, sebagian besar teman-temanku. Sudah lama ga ketemu bikin aku nyerocos aja sepanjang jalan di dalam angkot yang kami sewa menuju titik awal pendakian, Gunung Putri. Sampe lupa kalo di depan mata ‘ngos-ngosan’ itu akan datang.

Jalan… 

Jalan… 

Tiga puluh menit berlalu. Errrggghhh… perasaan gini nih yang bikin males. Terasa berat perjalanan padahal baru sebentar banget jalan, dan di hati bilang ‘yakin sampe puncak?, baru jalan gini aja rasa pengen balik lagi sembunyi dibalik selimut yang nyaman’. Karena udah bosen dengan perasaan macam gini yang selalu terulang, jalan terus wae siapa tahu puncak sudah deket (naon nu deket? Sejam juga belom -_-).

Sekitar dua jam perjalanan setelah menyerahkan SIMAKSI, jam tiga dini hari kami memutuskan nge-camp demi kebaikan. Aku sih seneng-seneng aja, bisa berhenti lamaaa (kapan nyampenya, Yung? -_-)

Paginya kita mulai jalan lagi, Gede emang ga pernah sepi, sampe yang jual nasi uduk lewatpun ada. Dan aku sempet percaya kalo ada Alfamart yang akan kami lewati. Oke lupakan! Maklum saya newbie ke Gede. 

Ini kami, minus Eno yang lagi motion.

Gunung Gede (Captured by Eno)

Sedikit-sedikit yang penting jalan terus dan tiba-tiba aku berasa mendaki sendiri, yang depan udah duluan yang belakang masih jauh. Trek di sini sudah jelas, jadi kemungkinan besar ga akan nyasar, nanjak (iyalah, kalo datar itu jalan tol) tapi ga sampe muka ketemu dengkul. 
Lalu bahagia itu muncul waktu liat pohon-pohon terasa dekat, tandanya mau nyampe. 

Setelah lima jam perjalanan, akhirnya sampe di Alun-alun Surya Kencana (Surken). 

Alun-alun Surya Kencana (Captured by Damar)

Edelweis mekaaaar, ini kali pertama liat bunganya. Di sini kita nge-camp  untuk paginya summit attack, yeay… sunrise. Semoga besok cerah.

Edelweis mekar (Captured by Eno)

Sempet saling tunggu di Surken, dan bikin bete. Kepisah Dari Eno, Ricky, dan Damar yang pada merekalah barang-barang yang dibutuhkan ada. Masak ga bisa, tidur ga bisa. Akhirnya kami tertolong tetangga sebelah yang ngasih banyak banget bahan makanan jadi dan mentah ke kita. Semoga dibalas kebaikannya mas-mas (jangan suruh Nurul melet lagi ya).

Tenda-tenda bertebaran di Surken (Captured by Damar)

Anginnya kenceng pisaaan, tiris amit-amit. Ini SB rasa-rasa cuma berperan dikit, malam-malam aku dan Nurul nyalain kompor dalam tenda sampe gasnya abis demi ngusir dingin. Ahhh… kalo gini, emang harus bersyukur dengan panasnya Dramaga yang rasanya lebih baik dibanding dingin ini.

Mereka ini udah janjian ya mau liat sunrise di puncak, wacana bangun jam dua pagi (realitanya jam setengah 4 pagi). Hehehe, udah biasa. 
Jam setengah tiga liat keluar tenda, astaga semua bekas makan masih di sana, ternyata abis sholat isya bener-bener ga ada yang keluar lagi. Okeh, ngalah! walau sebenernya ini ga tahan juga, dinginnya luarrrrr biasa. Bukan apa-apa, aku ga rela ga liat sunrise kalo cuacanya mendukung.
Setengah 4 pada bangun dan karena belum siap semua akhirnya diputusin yang sudah siap untuk berangkat duluan, terus nunggu di puncak.

Dan pagi ini serasa ga punya tenaga, ntah efek bangun tidur ato kekurangan kalori. Aku cuma berharap, kalo cerah semoga sempet liat sunrise ya Alloh. Sejam jalan akhirnya, Puncak Gunung Gede, I am here, 2958 mdpl. Alhamdulillah...

Sombong kalo udah sampe puncak
 
Puncak Gede (Captured by Eno)
Masyaalloh liat sunrisenya…!!!!

Sunrise Puncak Gede (Captured by Yulni)







Siluet (Captured by Eno)

Liat awan yang terasa deket banget ini aku selalu punya pikiran untuk lompat dan guling-guling di atasnya, serasa lembut kayak kapas. Lalu kemudian tewas, terhempas (oke, mengurungkan diri buat gegulingan di atasnya).

Negeri di atas Awan (Captured by Tam2)
 
Gunung Pangrango (Captured by Tam2)




Kawah Gunung Gede(Captured by Eno)

Dinginnya bener gila-gilaan ini, tangan bener-bener kaku.


Jam Sembilan pagi, kami yang menunggu di puncak, berlima: aku, Nurul, Andino, Kak Hari, Unang memutuskan melanjutkan perjalanan dan menunggu mereka di Kandang Badak. Kalau turun, biasanya lebih cepet, tenaga ga banyak terkuras tapi kaki habis-habisan kerjanya, berenti dikit langsung gemeteran.



Ini tanjakan cinta, eh salah.. tanjakan setan ceunah.

Tanjakan Setan (Captured by Eno)

Karena aku pake rok, lagi dan selalu mereka (yang entah siapa) mencemaskanku “hati-hati ya mba”. Hehehe, terimakasih, tenang. Rok ini pilihan, walau mobilitas ga seleluasa pake celana tapi aku pastiin ini bukan kendala. 
Masih aneh sih memang ngedaki pake rok, tapi udah mulai banyak kok cewe yang suka berpetualang dan terikat prinsip yang dia pegang tentang pakaian tetep nyaman dengan roknya. Kata temenku, jangan berubah hanya karena kamu berada di lingkungan yang beda.

Sampe Kandang Badak sekitar jam 11an, ada WC nya, akhirnya bisa nandain tempat di sini. Legaaa.. :D. 
Nunggu mereka, jam 2 baru sampe. Makan besar kali ini. Walau sudah diusahain banyak masaknya tetep aja sisanya masih banyak lagi, beras aja sisa 5 kg (tambahan dari tetangga waktu di Surken). Sampe tas Ricky putus bawanya, dan itupun ga mau berbagi.

Aku turun dengan carrier yang masih sama volumenya tapi ga dengan beratnya. 
Awalnya kecepatan maksimal, lama-lama melambat, kaki lecet karena terlalu banyak nahan batu. Sejam terakhir, jalan selangkah-selangkah. 

Capek, sakit, luka, kucel, tapi bahagia...

Dan akhirnya, tujuan mendaki tercapai: pulang dengan selamat :D. 

Tiga hari terlihat kayak pesakitan, jalan susah, sholat susah, buang air susah.
Dua hari berikutnya, flu menyerang.
Terakhir, batuk-batuk dan badan panas.

Nyesel?
Ahhh, aku makin cinta mendaki.
Benerlah sudah, Puncak Gede mempesona <3 br="">
Kali ini travel teaches me how to see..

Dan besok, kemana lagi langkah kakiku akan berhenti selanjutnya?...

05-07 September 2014, Gunung Gede 2958 mdpl Jawa Barat